Hakim Agung Jalur Non-Karier: Sebuah Kelaziman yang diperlukan
Dini Wahyuni
Staf
Biro Rekrutmen, Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim
Komisi
Yudisial RI
Perdebatan
mengenai proses rekrutmen calon hakim agung dari jalur karier dan non karier
antara Mahkamah Agung (MA) – Komisi Yudisal (KY) memuncak setelah MA
mengirimkan “surat cinta” ke KY perihal permintaan pengisian kekosongan jabatan
hakim agung di Mahkamah Agung, yaitu 3 dari kamar perdata, 2 dari kamar
militer, 1 dari kamar pidana, 1 dari kamar agama, 1 dari kamar TUN khusus
pajak. Namun yang ada “permintaan khusus” dari surat tertanggal 20 Juli 2018
tersebut bahwa MA meminta agar 7 dari 8 hakim agung direkrut dari hakim karier
(hanya hakim TUN khusus Pajak yang berasal dari hakim karier/umum).
Dalam
surat tersebut MA mencantumkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
53/PUU-XIV/2016 sebagai rujukan permintaan. Putusan a quo menguji pasal 6B ayat (2), Pasal 7 huruf a butir 4 dan butir
6 serta Pasal 7 huruf b butir 1 angka 4, butir 2 dan butir 3 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung dan
Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Reformasi MA
Proses
pengisian jabatan hakim agung ini harus dilihat dari beragam aspek baik dari
segi kebutuhan/kapasitas/keilmuan maupun dalam konteks memperkuat reformasi di
internal MA. Dalam pertimbangannya MK juga sudah mengingatkan bahwa pengisian
jabatan hakim agung yang bukan dari hakim karier merupakan bagian dan sekaligus
kelanjutan dari desain besar (grand
design) reformasi mendasar pemegang kekuasaan kehakiman, khususnya MA
(3.9.2).
Pengisian
jabatan hakim dari jalur di luar karier sesungguhnya juga sudah
dilakukan di lingkungan peradilan dibawah MA. Sebut saja rekrutmen hakim
pengadilan tindak pidana korupsi/tipikor (UU 46/2009) yang membuka peluang
munculnya hakim ad hoc. Memang jika dicermati,
hakim dari jalur non karier dan ad hoc
merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan yaitu
sama-sama berasal dari luar jalur karier (hakim di bawah Mahkamah Agung).
Terlebih lagi putusan MK mensyaratkan sifat kekhususan berupa keahlian di bidang hukum
tertentu untuk dapat melamar menjadi hakim agung dari jalur non karier, hal ini sejalan
dengan definisi hakim ad hoc dalam UU
Kekuasaan Kehakiman (UU KK), yaitu hakim yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.
Oleh karena itu relasi antara hakim
karier dan non-karier harus ditujukan untuk memperkuat institusi peradilan
dalam melahirkan putusan-putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, bukan
justru memperdalam jurang pemisah hanya karena perbedaan jenjang karir.
Didalam putusan yang sama, MK dalam pertimbangannya juga menyatakan
tentang penyebutan karier dan/atau non-karier hanya untuk pintu
masuk pada proses pencalonan sehingga pengelompokan yang didasarkan pada
penyebutan tersebut hilang atau tidak lagi digunakan setelah calon terpilih dan
diambil sumpah sebagai Hakim Agung. Menghilangkan penyebutan tersebut penting
untuk menghindari kemungkinan dikotomi Hakim Agung berdasarkan pintu masuk yang
disediakan Undang- Undang setelah calon terpilih dan diambil sumpahnya sebagai
Hakim Agung.
Posisi Komisi Yudisial
Rekrutmen
hakim agung perlu diletakkan dalam langgam kekuasaan kehakiman yang merdeka. MA
memiliki kebutuhan hakim agung sesuai dengan kriteria substantif tertentu, dan
KY sebagai lembaga yang mandiri dan berwenang dalam mengusulkan pengangkatan
hakim agung. Sehingga irisan kepentingan ini jangan sampai menimbulkan
interpretasi bahwa MA seolah-olah ingin “mendikte” KY untuk melakukan rekrutmen
calon hakim agung dari jalur karier saja (tanpa non-karier).
Perihal
penilaian calon hakim dari jalur non-karier memiliki keahlian bidang hukum
tertentu, hal tersebut mutlak menjadi kewenangan KY dalam proses seleksi. Ini
diperkuat dengan putusan MK dalam amarnya menyatakan Pasal 7 huruf b butir 3 UU
MA inkonstitusional bersyarat, “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai berijazah doktor dan magister di
bidang hukum dengan keahlian di bidang hukum tertentu dengan dasar sarjana
hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum”. MK sama
sekali tidak membatasi asal calon hakim agung hanya dari jalur karier saja,
sehingga non karier juga mempunyai porsi yang sama dengan karier.
Lagipula
faktanya sejak pertama kali dilaksanakannya penerimaan calon hakim agung pada
tahun 2006, KY telah menggelar 16 kali seleksi calon hakim agung (CHA). Dari
keseluruhan seleksi tersebut telah dihasilkan total 58 hakim agung, 44 hakim
berasal dari jalur karier dan 14 hakim berasal dari jalur non-karier. Jika dilihat dari rasio asal
calon hakim agung ini, 75% ternyata masih didominasi oleh hakim karier. Sehingga
secara sederhana dapat dikatakan intensi dari MA yang lebih menghendaki Hakim
Karier pada dasarnya telah lebih banyak dipenuhi.
Sebagai
lembaga yang mandiri, keputusan KY untuk tetap menerima calon hakim agung dari
jalur non-karier layak dinilai sebagai pengejawatahan dari kewenangan
konstitusionalitas KY sekaligus kelanjutan semangat reformasi peradilan.
Keberadaan para Hakim Non-Karier tidak semata-mata pelengkap tetapi juga organ
utama yang sangat vital sebagai unsur penggerak reformasi peradilan. Penulis
meyakini bahwa proses seleksi akan dilakukan dengan mempertimbangkan,
mengutamakan, dan memilih individu tertentu yang memiliki kriteria yang
dibutuhkan MA, bukan sekedar soal hakim karier dan non-karier semata.
(Tulisan dimuat pada Opini Kompas, 17 September 2018)
Komentar
Posting Komentar